Tuan yang terhormat!
Tak dapat saya sembunyikan kepada
Tuan, malah saya akui terus terang bahwasanya seketika membaca
surat-surat Tuan itu, saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan
hati saya.
Tetapi setelah reda gelora dan ombak
hati yang dibangkitkan oleh surat Tuan itu, timbullah kembali keinsafan
saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus asa,
tangis orang yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai.
Tangis dan kesedihan itu selamanya mesti reda juga, ibarat hujan;
selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua.
Kita akan sama-sama menangis buat
sementara waktu, laksana tangis anak-anak yang baru keluar dari perut
ibunya. Nanti bilama dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia
pindah dari alam yang sempit ke dalam alam yang lebih lebar. Kelak Tuan
akan merasai sendiri, bahwa hidup yang begini telah dipilihkan Allah
buat kebahagiaan Tuan. Allah telah sediakan hidup yang lebih beruntung
dan lebih murni untuk kemaslahatan Tuan di belakang hari.
Tuan kan tahu bahwa saya seorang
gadis yang miskin dan Tuan pun hidup dalam melarat pula, tak mempunyai
persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga. Maka lebih baik
kita singkirkan perasaan kita, kembali kepada pertimbangan. Lebih baik
kita berpisah, dan kita turutkan perjalanan hidup masing-masing menurut
timbangan kita, mana yang lebih bermanfaat buat di hari nanti. Saya pun
merasai sebagai yang Tuan rasakan, yaitu kesedihan menerima vonis itu.
Tetapi Tuan harus insaf, sudah terlalu lama kita mengangan-angan barang
yang mustahil, baik saya maupun Tuan.
Tuan pilih sajalah seorang istri yang
lebih cantik dan lebih kaya dari pada saya, dan marilah kita tinggal
bersahabat buat selamanya. Kepada Aziz tak usah Tuan kecil hati, dia tak
salah dalam perkara ini. Tetapi sayalah yang telah mengambil putusan
yang tetap buat bersuami dia; lawan saya musyawarah ialah hati saya
sendiri, sehingga saya terima tawaran ninik mamak saya.
Dan saya harap Tuan lupakanlah segala
hal yang telah berlalu, maafkan segala kesalahan dan keteledoran saya,
sama kita pandang hal yang dahulu seakan-akan tidak ada saja.
Hayati